Film Ayat Ayat Cinta mungkin adalah film yang paling ditunggu-tunggu penonton film Indonesia di tahun 2008, terutama bagi yang sangat penasaran bagaimana novel fenomenal ini dibuat filmnya. Dan hal itu terbukti dengan panjang antrian yang harus dihadapi hanya untuk mendapatkan tiketnya. Di kotaku sendiri, hingga lewat 1 minggu dari premierre-nya, antrian masih gila-gilaan.
Sekedar mereview, Ayat Ayat Cinta bercerita tentang kehidupan seorang mahasiswa Al Azhar asal Indonesia di Mesir, bernama Fahri. Fahri, yang sederhana dan teguh memegang keyakinannya tanpa sadar telah memikat hati 4 gadis cantik, Aisha, gadis Jerman-Turki yang ditemuinya di metro, Maria, gadis Mesir beragama Kristen Koptik yang juga tetangganya, Nurul, mahasiswa Indonesia yang juga kuliah di Al Azhar, serta Noura, gadis Mesir yang sering disiksa ayahnya. Dan ternyata yang beruntung menjadi istrinya adalah Aisha.
Masalah muncul ketika Fahri dituduh telah memperkosa Noura, gadis yang ditolongnya dari siksaan ayahnya angkatnya. Satu-satunya saksi kunci yang bisa membuktikan bahwa Fahri tidak bersalah adalah Maria, yang bersama Noura pada saat kejadian yang dituduhkan itu terjadi. Sayangnya Maria yang diharapkan bisa bersaksi membela Fahri sedang terbaring lemah di rumah sakit. Pernikahan Fahri telah membuat hatinya hancur dan tidak punya semangat hidup lagi. Demi memperoleh kebebasan suaminya kembali, Aisha merelakan Fahri menikahi Maria, karena hanya itulah satu-satunya jalan untuk membangunkan Maria dari komanya. Pernikahan pun dilangsungkan dengan sangat sederhana dan Maria terbangun dari koma dan menjadi saksi terakhir yang diajukan Fahri. Dengan hadirnya Maria, terungkaplah cerita yang sebenarnya. Bahwa sebenarnya orang yang memperkosa Noura sebenarnya adalah Bahadur, orang yang selama ini menyiksanya. Akhir cerita, Fahri dibebaskan dari segala tuduhan, dan tak lama setelah itu Maria meninggal setelah mengucapkan dua kalimat syahadat.
Diluar terlalu sempurnanya tokoh Fahri dalam novel ini, Ayat-ayat Cinta mungkin adalah salah satu novel terbaik yang pernah dihasilkan penulis Indonesia. Bahasanya indah dan dalam setiap babnya selalu ada manfaat yang bisa kita ambil dan renungkan. Nah, dengan kebesaran namanya sebagai novel, apakah film Ayat-ayat Cinta bisa sebagus atau minimal mendekati buku ini?
Berdasarkan hasil browsing yang kulakukan di internet beberapa hari setelah premierrenya, aku mendapat begitu banyak tannggapan yang menyatakan kekecewaan atas film Ayat-ayat Cinta. Ceritanya berubah, karakter pemain berubah, dan kurang Islami. Begitulah kesimpulan yang bisa kuambil dari beberapa tanggapan atas film Ayat-ayat Cinta. Kenapa begitu banyak perubahan yang terjadi mungkin hanya pihak pembuat film itu sendiri yang bisa menjelaskan. Aku sendiri memiliki pendapat sendiri kenapa film Ayat-ayat Cinta bisa berbeda dari novelnya.
Pertama, dari segi fisik, mungkin hanya Carissa Putri yang benar-benar pas perannya. Wajahnya benar-benar seperti gadis Mesir pada umumnya. Sedangkan pemeran lainnya, yah mungkin hanya merekalah yang bisa memenuhi kriteria Kang Abik dalam pemilihan pemeran Ayat-ayat Cinta.
Kemudian, dari segi setting cerita. Ayat-ayat Cinta ditulis dengan Mesir sebagai latar belakang negaranya, dan bahasa Arab sebagai bahasa sehari-harinya. Rasanya aneh bukan jika kita melihat tokoh Maria atau Aisha berbahasa Indonesia?
Soal adanya perbedaan cerita antara novel dengan filmnya, mungkin disitulah rumitnya membuat film berdasarkan novel. Tidak mudah mengompress sebuah novel setebal ±300 halaman menjadi film 2,5 jam. Apalagi novel itu adalah novel laris yang mungkin setiap detail ceritanya sudah menempel di otak pembacanya. Karena itu adanya pengurangan bagian cerita sangatlah wajar dilakukan. Akan tetapi soal adanya penambahan ataupun perubahan cerita, yah mungkin itu memang perlu dilakukan untuk penyesuaian dengan isi cerita.
Lalu soal ending yang berbeda dari novelnya, well bagi yang udah baca novel Ayat-ayat Cinta tentunya tahu kalau ending Ayat-ayat Cinta sangatlah indah dan menyentuh keimanan kita sebagai seorang muslim. Nah ending yang seperti itu tidak mungkin digambarkan dalam film mengingat penduduk Indonesia tidak semuanya beragama Islam.
Terakhir, tentang adanya perubahan karakter Aisha dari lemah lembut menjadi pencemburu, aku juga masih belum bisa menangkap maksudnya. Apakah hal ini disengaja untuk mempertajam konflik dan menyesuaikan dengan realita yang ada, bahwa Aisha menikah dengan Fahri tanpa mengenalnya terlebih dahulu, ataukah ada perbedaan sudut pandang antara pembaca novel Ayat-ayat Cinta dengan penulis skenario dalam menggambarkan tokoh Aisha dalam novel? Yang jelas, perubahan karakter ini cukup berpengaruh, terutama bagi pembaca Ayat-ayat Cinta yang datang ke bioskop untuk mengetahui bagaimana novel ini difilmkan. Mereka yang mencintai tokoh Aisha dalam novel malah berbalik menjadi sebal hanya karena Aisha begitu pencemburu pada Fahri.
Mungkin itu saja sedikit pendapatku tentang film Ayat-ayat Cinta. Yang jelas, walaupun film ini bisa dikatakan tidak sebagus novelnya, akan tetapi jelas lebih bermutu dibandingkan film-film lainnya. Semoga saja film ini selain mendatangkan untung besar bagi pembuatnya juga mendatangkan manfaat bagi penontonnya seperti halnya novelnya.
NB : ditulis setelah menonton versi bajakan Ayat-ayat Cinta
1 comment:
yup bener bgt byk perubahan.apalagi yg meranin aisyah nya rianti.track record nya kan kurang meyakinkan (berasal dari VJ MTV).
buka jg ya blog aku : kalimantanku.blogspot.com
byk ttg info kalimantan.haha promosi...!
Post a Comment