Kalighat
Metro Stasiun tampak ramai seperti biasanya. Anak-anak yang pulang
dari sekolahnya, ibu-ibu muda dengan anak mereka, serta para laki-laki
dengan pakaian kerja mereka. Semuanya berlalu-lalang di salah satu
stasiun metro bawah tanah kota Kolkata tersebut dengan tujuan mereka
masing-masing. Mereka mengantri tiket, menuruni tangga, hingga akhirnya
berebut memasuki gerbong kereta. Arup Basu merupakan satu diantara
orang-orang tersebut.
Pintu
kereta secara otomatis tertutup ketika Arup Basu berhasil memasuki
gerbong kereta. Terlambat satu detik saja ia pasti akan ketinggalan
kereta tersebut. Sambil menghela nafas, refleks matanya mengitari
orang-orang di sekelilingnya. Gerbong kereta yang dimuatinya kini
tampak penuh. Sayup-sayup Arup Basu bisa mendengarkan pembicaraan
orang-orang tersebut.
Tepat ketika Arup Basu mulai melangkahkan kakinya di dalam gerbong kereta, telepon genggamnya berbunyi.
“Halo?”
“Ya, aku sudah di dalam kereta.”
“Tas? tas yang mana?”
“Halo? Halo?”
Hubungan
terputus. Setengah putus asa Arup Basu memandang telepon genggam yang
ada di tangannya. Berada di bawah tanah membuatnya mengalami kesulitan
berkomunikasi. Padahal saat ini ia sedang menunggu informasi penting
dari si penghubung tersebut. Beruntung tadi si penghubung sempat
menyebutkan sedikit informasi dimana ia harus menemukan benda yang ia
cari. Tas, begitu katanya. Tapi tas yang mana? Ada ratusan orang di
kereta. Dan hampir semua mengenakan tas. apakah ia harus memeriksa
setiap tas tersebut? Jelas itu tidak mungkin. Ia tak memiliki cukup
waktu untuk itu.
Akhirnya Arup
Basu memutuskan menyusuri gerbong tersebut, sambil memperhatikan
setiap tas yang dikenakan para penumpang. Tak lupa telinganya tetap
berjaga jikalau terdengar pembicaraan mencurigakan.
***
Meski
ini merupakan salah satu bagian dari pekerjaannya, entah mengapa kali
ini Arup Basu agak berat melaksanakan tugas yang dibebankan padanya
kali ini. Jika bukan karena paksaan dari Vidya, istrinya, Arup mungkin
akan memilih berdiam di rumah saja. Dengan perutnya yang semakin
membesar, berat rasanya bagi Arup untuk meninggalkan istrinya itu
seorang diri di rumah. Apalagi saat ini mendekati perayaan Puja Durga.
Arup ingin sekali melihat istrinya itu mengenakan kain sari berwarna
putih bergaris merah layaknya wanita-wanita lain di India.
“Sari
putih bergaris merah? Kenapa aku harus mengenakannya?” tanya Vidya
ketika ia mengutarakan keinginannya itu. Istrinya itu sedang bersandar
dengan di nyaman di sofa, sambil memasukkan berbagai makanan ke
mulutnya. Bagian perutnya yang menggelembung ditutupi dengan selimut.
“Tradisi. Setiap orang mengenakannya di hari terakhir Durga Puja,” jawab Arup sambil sibuk dengan pekerjaannya.
“Setiap orang? Laki-laki juga?” tanya Vidya lagi.
Arup menghela nafasnya sejenak. Kadang memerlukan energi yang lebih jika ia harus beradu argumen dengan istrinya tersebut.
“Aku
akan membawakan satu untukmu begitu kembali dari Kolkata, Mrs. Basu.
Dan percaya padaku. Kau akan terlihat sangat cantik mengenakannya,”
balasnya akhirnya.
Vidya kemudian melambaikan tangannya kepada Arup.
“Ada apa?”
Vidya tak menjawab. Namun tetap melambaikan tangannya. Arup akhirnya mengalah dan beranjak dari tempat duduknya.
“Ada apa?” tanyanya lagi. Kali ini ia sedang berdiri di samping istrinya.
Vidya kemudian memberikan tanda agar dia menunduk. Lagi-lagi Arup menurut saja.
“Jangan
membuatku bosan, Mr. Vidya Basu. Lupakan ide tentang membuatku
mengenakan kain sari. Pergilah ke Kolkata dan cepatlah kembali,” kata
Vidya kemudian.
***
Tugas
yang diberikan padanya kali ini sebenarnya merupakan sebuah tugas
mendadak. Saat itu ia sedang menikmati hari-hari cutinya bersama Vidya
yang sedang hamil besar. Sebuah telepon dari atasan membuatnya harus
membatalkan rencana bersantai tersebut. Terlebih ternyata sang istri
ternyata memaksanya untuk melaksanakan tugas.
“Aku
tak ingin pergi ke Kolkata. Aku sedang liburan,” kata Arup. Berusaha
merayu istrinya yang sedang mengemasi pakaian miliknya.
“Hanya dua minggu, Arup. Aku akan baik-baik saja. Kau menangis seperti bayi saja,” jawab Vidya tanpa terpengaruh.
“Kau bahkan mengemasi barangku?”
Vidya hanya tersenyum sambil tetap memasukkan pakaian Arup ke dalam Travel Bag.
“Ayolah,
Vidya. Mereka akan menemukan penggantiku. Dan aku akan tetap berada di
sini menjagamu. Memasak, mencuci..” Arup masih tak mau menyerah dengan
usahanya.
Lagi-lagi Vidya
hanya tersenyum dengan kelakuan Arup. Sambil mengelus lembut rambut
Arup, ia kemudian berkata, “Itulah yang kutakutkan, Arup. Aku akan
baik-baik saja. Pergilah.”
Kadang
terbersit kebingungan di kepala Arup tentang kelakuan aneh istrinya.
Istri-istri yang lain pasti akan meminta untuk ditemani suaminya jelang
hari persalinannya.
Tapi
Vidya, gadis cantik yang dinikahinya dua tahun lalu dalam upacara
sederhana tersebut berbeda. Ia tampak begitu santai. Bahkan di saat
suaminya mendapat tugas berbahaya seperti sekarang, Vidya bisa dengan
tenangnya melepas kepergiannya. Seolah-olah ia bukan seseorang yang
penting dalam hidupnya.
Namun Arup tetaplah Arup, yang mencintai Vidya
setengah mati. Karena itu meski dengan berat hati ia pergi menuju
Kolkata untuk menyelesaikan tugasnya.
***
Kereta
yang Arup tumpangi sebentar lagi akan berhenti di stasiun Ravindra.
Suasana dalam kereta masih sama seperti beberapa menit sebelumnya.
Suara-suara yang saling bersahutan membuat Arup harus menajamkan
pendengarannya. Matanya pun tak henti memperhatikan setiap tas yang ia
lewati. Ia tak boleh lengah. Karena jika sedikit saja ia lengah, maka
akan berakibat fatal pada seluruh penumpang kereta ini. Bahkan bisa
jadi itu juga berakibat fatal bagi dirinya.
Suara
dua wanita yang didengarnya ketika memasuki kereta masih terdengar.
Juga anak-anak sekolah yang membicarakan game terbaru. Entah mengapa
hatinya mengatakan kalau ia harus memperhatikan orang-orang tersebut.
“Kenapa anakmu menangis terus?” tanya seorang wanita paruh baya pada wanita yang duduk di sampingnya.
“Ia kehausan.” Jawab wanita yang ditanya.
“Lalu kenapa tidak kau susui anakmu?”
“Botol susunya tertinggal di rumah.”
Arup
memutuskan meninggalkan dua wanita tersebut. Kecil kemungkinan salah
satu dari wanita tersebut membawa barang yang dicarinya. Ia kemudian
melanjutkan pencariannya.
“Kemarin aku membeli game baru. Call of Duty, Black Ops. Benar-benar game yang bagus,” kata seorang anak pada temannya.
“Hei, lihat! Bukankah itu Kushal?” Teman yang lain berkata.
Kemudian anak-anak tersebut beranjak dari tempat duduknya dan berjalan menuju anak yang mereka sebut Kushal tersebut.
“Are, Kushal. Kenapa kau begitu ketakutan?”
Tanya anak yang satu.
“Berikan tasmu padaku. Kenapa kau takut?”
Anak yang lain bertanya.
“Apa yang kau sembunyikan dalam tasmu? Berikan pada kami. Kami tak akan melemparnya.”
Kali ini anak-anak tersebut berusaha merebut tas dari anak yang bernama Kushal tersebut.
Arup,
yang melihat kejadian tersebut langsung menghampiri anak-anak
tersebut. Langsung direbutnya tas yang berada di pangkuan Kushal dan
memeriksa isinya. Sebuah botol terdapat dalam tas yang dipeluk Kushal.
Dan botol itu kosong.
Sementara di belakangnya, sayup Arup mendengar pembicaraan kedua wanita sebelumnya.
“Aku akan turun di sini,” kata ibu dari bayi yang menangis. Kereta sudah tiba di stasiun Ravindra.
“Are, are. Tasmu ketinggalan,” terdengar suara dari wanita kedua.
“Botol susumu ada di sini,” wanita kedua berkata lagi. Di tangannya kini terdapat sebuah botol susu.
Suasana kereta mendadak ramai karena pintu kereta telah dibuka. Orang-orang berebut untuk keluar dan masuk ke dalam kereta.
Tepat
ketika botol susu akan berpindah tangan, seseorang menyenggol tubuh
sang wanita. Botol susu terjatuh. Dan Arup terlambat menyadari
kesalahannya. Begitu ia berbalik, dilihatnya isi dari botol susu
tersebut menguap perlahan ke udara.
***
Ruby General Hospital, Kolkata
Vidya
Basu menatap langit-langit kamar tempatnya berada sekarang. Tak ada
siapa-siapa di ruangan tersebut. Ia sendirian. Benar-benar sendiri.
Dari sudut matanya mengalir air mata yang belum mau berhenti sejak ia
terbangun beberapa menit yang lalu. Masih jelas terekan dalam ingatannya
bagaimana mimpi buruk itu terjadi.
“Arup gagal, Vidya,” Begitu kata Kapten Bajpal lewat telepon sehari sebelumnya.
“Apa maksudmu, Kapten?” tanya Vidya dengan nada cemas.
“Benda itu berhasil ditemukan. Sayangnya Arup terlambat melakukan tindakan.”
“Jadi...” Ketakutan mulai melanda Vidya.
“Dia meninggal bersama penumpang yang lain.”
“Tidak mungkin!! Kau pasti berbohong!!”
“Maafkan aku, Vidya. Aku pun berharap begitu. Kau bisa melihat beritanya di televisi sekarang.”
Telepon
ditutup. Vidya langsung menyalakan televisi di hadapannya. Sebuah
berita tentang tragedi yang terjadi di salah satu kereta di stasiun
Kalighat langsung terpampang di hadapannya. Sang pembaca berita
mengatakan kalau seluruh penumpang kereta tersebut meninggal akibat gas
beracun. Seluruh penumpang.
***
Adegan
beralih ke rumah sakit. Vidya berdiri menghadapi sesosok tubuh yang
sudah terbujur kaku. Wajahnya tampan, dengan sedikit goresan luka di
pipi kanannya. Memandang wajah tersebut mengingatkan Vidya pada
kenangan-kenangan indah mereka. Pernikahan mereka yang sederhana. Vidya
yang menunggu lelaki tersebut pulang dari pekerjaannya. Ucapan-ucapan
terakhir pria itu sebelum kepergiannya ke Kolkata. Lalu mendadak
semuanya gelap.
***
“Maafkan kami, Nyonya Basu. Bayi anda tak bisa kami selamatkan.”
Itulah
kalimat pertama yang ia dengar begitu matanya terbuka. Entah berapa
lama ia tak sadarkan diri. Satu jam? Dua jam? Atau mungkin sepanjang
malam? Dirabanya bagian perutnya. Rata. Tak ada lagi gundukan besar
yang menemaninya selama berbulan-bulan terakhir.
“Ini
salahku. Semuanya salahku.” Vidya berkata dalam isak tangisnya. Di
luar ruangan, Kapten Bajpal memandangnya dengan tatapan iba.
***
Catatan:
Sejak
dulu saya ingin sekali menulis cerita dengan latar belakang India.
Sebagai latihan, saya memilih menuliskan salah satu scene di film
terbaru Vidya Baland yang berjudul Kahaani (Story), dengan beberapa
modifikasi, tentunya. Filmnya sendiri bergenre thriller, dan kalau saya
bilang sih, bagus banget :)
No comments:
Post a Comment